PURA PUNCAK MANGU
Upahvare giringan
samgthe ca
Nadinam dhiya vipro ajayata.
(Rgveda VIII.6.28)
Maksudnya:Nadinam dhiya vipro ajayata.
(Rgveda VIII.6.28)
Di tempat-tepat yang tergolong hening, di gunung-gunung dan pertemuan dua sungai, di sanalah orang bijak (viprah) mendapatkan pemikiran yang jernih.
Pura Pucak Mangu mungkin sudah ada sejak zaman budaya
megalitikum berkembang di Bali dengan bukti
diketemukannya peninggalan Lingga yang cukup besar. Di tempat inilah I Gusti
Agung Putu, pendiri Kerajaan Mengwi, melakukan tapa brata mencari keheningan
pikiran setelah kalah dalam perang tanding.
Menurut para ahli purba kala, Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali berlangsung dari abad X - XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini
Di Pucak Mangu terdapat peninggalan jaman megalitik berupa batu alam, lalu lingga yang menjulang lurus dengan pancangan ''pancering jagat'' di tanah puncak gunung tiada ubahnya menembus lurus ke langit sebagai titik orientasi pusat tuju. Ulu Lingga di mandala utama Pura Pucak Mangu, yang senyatanya memang dibiarkan tetap menembus bumi pertiwi, layaknya pancering jagat di Trunyan, itu tiada ubahnya titik pancang ''pancering jagat'' tidak langit sebagai hulunya hulu utamaning utama jagat Bali dengan konsep pra-Hindu pra-India, dan pastilah otomatis pra-Majapahit feodal berkasta-kasta. Dapat dipahami bila yang memuja muput ritus rutin maupun utama (kalangan ''Majapahitan'' belakangan menamai tradisi ini dengan sebutan politis-rada arogan ''sima gunung'' yang seolah mengesankan terbelakang, primitif) di sini bukanlah sulinggih model-model Majapahit, melainkan kubayan-lah yang bertugas menjalankan tirta pamuput dari Ida Bagawanta di Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur, di utara (hulu) danau Beratan.
Berposisi dengan ketinggian 2.020 m dpl (di atas permukaan laut), Pucak Mangu lebih komplit sempurna lagi menghamparkan keunikan istimewa bagi jagat Bali. Sepatutnya memang Pucak Mangu menempati posisi penting dalam bentang jagat spiritual kosmologi Bali dengan status sebagai pura Sad Kahyangan sekaligus Pura Padmabhuwana dengan posisi utara/Barat-laut arah barat laut (wayabya/kaja kauh, titik temu utara dan barat), sebagai stana Hyang Manikumayang, Sangkara, bersenjata gaib Angkus, dengan aksara suci SING, berpenggetaran rupa warna hijau. Dalam wujud ragawi bangunan suci di Pura-Pura desa di Bali diwujudkan berupa bebaturan perwakilan stana Hyang Anantabhoga, sumber sandang pangan tiada akhir tiada berpenghabisan
Perjalanan Spiritual Rombongan Ashram Gayatri
Tanggal 9 September 2012, kurang lebih pukul 3 pagi dini hari, Rombongan Ashram Gayatri berangkat dari Ashram, dengan 5 mobil, dimana rombongan lain sudah berangkat lebih dulu. Dengan dipimpin langsung oleh Ida Pandita Agni Yoga Sarasvati, perjalanan dengan mobil kami tempuh sekitar 1 jam.
Setelah mohon ijin dengan bersembahyang bersama di natar pura, perjalanan kami lanjutkan menuju ke areal parkir untuk lokasi pendakian. Sempat menunggu rombongan lain, yg ternyata kita saling tunggu.., perjalanan tertunda sekitar 45 menit. Dan setelah semua kumpul, pendakian pun dimulai.
Medan disana sudah cukup baik, dimana sudah ada tangga, dan medannya juga lumayan landai, sampai pada Pura Beji. Setelah melakukan acara bersih-bersih, kami lanjutkan dengan persembahyangan bersama, dan selanjutnya kami pun melanjutkan perjalanan.
Dari lokasi beji sampai ke puncak, jalanan baru mulai terjal dan agak sulit. Semua rombongan berjalan dengan pelan tapi pasti. Tak berselang beberapa lama, kami pun sampai di puncak. Suasana dingin angin pegunungan langsung menusuk tulang. Kami bahkan sampai menggigil kedinginan. Tetapi rasa dingin itu seakan tak berarti jika dibandingkan dengan keindahan alam yg disuguhkan dari puncak bukit tersebut. Terlihat 2 danau, Buyan dan Tamblingan, seakan kembar, dengan berberapa perbukitan yg terlihat dari sana. Sungguh merupakan tempat yg sangat indah.
Setelah istirahat sejenak, kami segera melakukan acara bersih-bersih, sambil melakukan persiapan untuk upacara Agnihotra. Setelah semua dirasa sudah siap, Agnihotra pun dimulai.
Semua peserta mengikuti upacara tersebut dengan khusuk. Saya sendiri, yg kebetulan bagian dokumentasi, sempat tergelitik dengan kehadiran seekor monyet. Awalnya monyet itu kelihatan lucu, tapi tak berselang lama, puluhan monyet lain berdatangan. Mereka mencari makanan, dengan memakan persembahan / banten yg dihaturkan. Saya sendiri tidak berani berbuat banyak, dengan hanya memperhatikan monyet-monyet besar mengambil buah dan jajan dari banten tersebut.
Setelah semua acara selesai, kami pun melanjutkan dengan acara makan bersama, dan diakhiri dengan acara “TARUNG TUTUH” antara rombongan dari Ashram Gayatri, dengan rombongan semeton dari Sakah. Satu per satu perwakilan kami maju dan merasakan kekuatan tutuh dari masing masing tempat. Bukan dengan tujuan mencari siapa menang dan siapa kalah.., hanya sekedar hiburan, untuk lebih mempererat rasa persaudaraan.
Setelah semua acara selesai, kami pun kembali pulang. Sepanjang perjalanan, kami isi dengan canda gurau. Setelah semua beban hati terlepaskan sejenak, rasa hati seperti di refresh. Kita kembali dari perjalanan dengan hati senang, dan rasa bahagia.
Tak henti-hentinya kami mengagumi keindahan alam ciptaan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Semoga keindahan ala mini selalu terjaga keaslian dan keasriannya, sehingga kelak anak cucu kita bisa juga menikmati alam yg indah ini.
Akhir kata, catatan saya ini saya tutup dengan ucapan puji
syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat Beliau lah,
kami segenap peserta dharmayatra ini bisa sukses dan selamat sampai di tempat
tujuan, dan selamat sampai kembali pulang.
Tidak lupa kami segenap keluarga Ashram Gayatri mengucapkan
Terima kasih sebanyak-banyaknya kepada Penglingsir kami “ IDA PANDITA AGNI YOGA
SARASVATI” atas segala bimbingan dan tuntunannya, sehingga acara ini bisa
berlangsung dengan damai, indah dan selamat.
OM SHANTI SHANTI SHANTI OM……