Selasa, 30 Oktober 2012

Pura Pucak Mangu



PURA PUNCAK MANGU



Upahvare giringan samgthe ca
Nadinam dhiya vipro ajayata.
(Rgveda VIII.6.28)
Maksudnya:
Di tempat-tepat yang tergolong hening, di gunung-gunung dan pertemuan dua sungai, di sanalah orang bijak (viprah) mendapatkan pemikiran yang jernih.


Pura Pucak Mangu mungkin sudah ada sejak zaman budaya megalitikum berkembang di Bali dengan bukti diketemukannya peninggalan Lingga yang cukup besar. Di tempat inilah I Gusti Agung Putu, pendiri Kerajaan Mengwi, melakukan tapa brata mencari keheningan pikiran setelah kalah dalam perang tanding. 

Di Pucak Mangu ini terdapat sebuah pura dengan ukuran 14 x 24 meter. Di dalamnya ada beberapa pelinggih dan bangunan yang bernilai sejarah kepurbakalaan. Yaitu sebuah Lingga, dengan ukuran tinggi 60 cm dan garis tengahnya 30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan bentuk segi 4 (Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bulat panjang (Siwa Bhaga).
Menurut para ahli purba kala, Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali berlangsung dari abad X - XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini

Di Pucak Mangu terdapat peninggalan jaman megalitik berupa batu alam, lalu lingga yang menjulang lurus dengan pancangan ''pancering jagat'' di tanah puncak gunung tiada ubahnya menembus lurus ke langit sebagai titik orientasi pusat tuju. Ulu Lingga di mandala utama Pura Pucak Mangu, yang senyatanya memang dibiarkan tetap menembus bumi pertiwi, layaknya pancering jagat di Trunyan, itu tiada ubahnya titik pancang ''pancering jagat'' tidak langit sebagai hulunya hulu utamaning utama jagat Bali dengan konsep pra-Hindu pra-India, dan pastilah otomatis pra-Majapahit feodal berkasta-kasta. Dapat dipahami bila yang memuja muput ritus rutin maupun utama (kalangan ''Majapahitan'' belakangan menamai tradisi ini dengan sebutan politis-rada arogan ''sima gunung'' yang seolah mengesankan terbelakang, primitif) di sini bukanlah sulinggih model-model Majapahit, melainkan kubayan-lah yang bertugas menjalankan tirta pamuput dari Ida Bagawanta di Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur, di utara (hulu) danau Beratan.

Berposisi dengan ketinggian 2.020 m dpl (di atas permukaan laut), Pucak Mangu lebih komplit sempurna lagi menghamparkan keunikan istimewa bagi jagat Bali. Sepatutnya memang Pucak Mangu menempati posisi penting dalam bentang jagat spiritual kosmologi Bali dengan status sebagai pura Sad Kahyangan sekaligus Pura Padmabhuwana dengan posisi utara/Barat-laut arah barat laut (wayabya/kaja kauh, titik temu utara dan barat), sebagai stana Hyang Manikumayang, Sangkara, bersenjata gaib Angkus, dengan aksara suci SING, berpenggetaran rupa warna hijau. Dalam wujud ragawi bangunan suci di Pura-Pura desa di Bali diwujudkan berupa bebaturan perwakilan stana Hyang Anantabhoga, sumber sandang pangan tiada akhir tiada berpenghabisan

Perjalanan Spiritual Rombongan Ashram Gayatri

Tanggal 9 September 2012, kurang lebih pukul 3 pagi dini hari, Rombongan Ashram Gayatri berangkat dari Ashram, dengan 5 mobil, dimana rombongan lain sudah berangkat lebih dulu. Dengan dipimpin langsung oleh Ida Pandita Agni Yoga Sarasvati, perjalanan dengan mobil kami tempuh sekitar 1 jam. 

Setelah mohon ijin dengan bersembahyang bersama di natar pura, perjalanan kami lanjutkan menuju ke areal parkir untuk lokasi pendakian. Sempat menunggu rombongan lain, yg ternyata kita saling tunggu.., perjalanan tertunda sekitar 45 menit. Dan setelah semua kumpul, pendakian pun dimulai.
Medan disana sudah cukup baik, dimana sudah ada tangga, dan medannya juga lumayan landai, sampai pada Pura Beji. Setelah melakukan acara bersih-bersih, kami lanjutkan dengan persembahyangan bersama, dan selanjutnya kami pun melanjutkan perjalanan.

Dari lokasi beji sampai ke puncak, jalanan baru mulai terjal dan agak sulit. Semua rombongan berjalan dengan pelan tapi pasti. Tak berselang beberapa lama, kami pun sampai di puncak. Suasana dingin angin pegunungan langsung menusuk tulang. Kami bahkan sampai menggigil kedinginan. Tetapi rasa dingin itu seakan tak berarti jika dibandingkan dengan keindahan alam yg disuguhkan dari puncak bukit tersebut. Terlihat 2 danau, Buyan dan Tamblingan, seakan kembar, dengan berberapa perbukitan yg terlihat dari sana. Sungguh merupakan tempat yg sangat indah.

Setelah istirahat sejenak, kami segera melakukan acara bersih-bersih, sambil melakukan persiapan untuk upacara Agnihotra. Setelah semua dirasa sudah siap, Agnihotra pun dimulai.
Semua peserta mengikuti upacara tersebut dengan khusuk. Saya sendiri, yg kebetulan bagian dokumentasi, sempat tergelitik dengan kehadiran seekor monyet. Awalnya monyet itu kelihatan lucu, tapi tak berselang lama, puluhan monyet lain berdatangan. Mereka mencari makanan, dengan memakan persembahan / banten yg dihaturkan. Saya sendiri tidak berani berbuat banyak, dengan hanya memperhatikan monyet-monyet besar mengambil buah dan jajan dari banten tersebut.

Setelah semua acara selesai, kami pun melanjutkan dengan acara makan bersama, dan diakhiri dengan acara “TARUNG TUTUH” antara rombongan dari Ashram Gayatri, dengan rombongan semeton dari Sakah. Satu per satu perwakilan kami maju dan merasakan kekuatan tutuh dari masing masing tempat. Bukan dengan tujuan mencari siapa menang dan siapa kalah.., hanya sekedar hiburan, untuk lebih mempererat rasa persaudaraan.

Setelah semua acara selesai, kami pun kembali pulang. Sepanjang perjalanan, kami isi dengan canda gurau. Setelah semua beban hati terlepaskan sejenak, rasa hati seperti di refresh. Kita kembali dari perjalanan dengan hati senang, dan rasa bahagia.
Tak henti-hentinya kami mengagumi keindahan alam ciptaan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Semoga keindahan ala mini selalu terjaga keaslian dan keasriannya, sehingga kelak anak cucu kita bisa juga menikmati alam yg indah ini.

Akhir kata, catatan saya ini saya tutup dengan ucapan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat Beliau lah, kami segenap peserta dharmayatra ini bisa sukses dan selamat sampai di tempat tujuan, dan selamat sampai kembali pulang.
Tidak lupa kami segenap keluarga Ashram Gayatri mengucapkan Terima kasih sebanyak-banyaknya kepada Penglingsir kami “ IDA PANDITA AGNI YOGA SARASVATI” atas segala bimbingan dan tuntunannya, sehingga acara ini bisa berlangsung dengan damai, indah dan selamat.

OM SHANTI SHANTI SHANTI OM……









Senin, 29 Oktober 2012

Pura Pucak Kedaton - Batukaru

Pura Pucak Kedaton - Batukaru


Pura Luhur Batukaru dalam status Sad Khayangan Jagat sebagai Linggacala Ida SangHyang Mahadewa disebut dengan Mahadewa lazimnya dalam kehidupan masyarakat pengempon disebut Batukaru.

 Batukaru merupakan kekuatan penangkeb yang bermakna raja para Dewa-Dewa sehingga manifestasi Ida Sang Hyang Widhi yang dipuja di Pura Batukaru oleh masyarakaat setempat disebut dengan istilah Ida Betara Panembahan Penataran Jagat Bali. Dan puncak gunung Batukaru disebutkan dengan istilah Pucak Kedaton.
Pucak artinya kedudukan tertinggi, sedang Kedaton atau kedatuan artinya keratuan Raja di Raja.

Jadi Kedaton berarti keraton yang artinya komando tata pemerintahan niskala. Gunung Batukaru dengan puncaknya kedaton merupakan manifestasi Ida SangHyang Widhi sebagai badan eksekutif,yaitu pelindung kehidupan sarwa pranidengan menganugrahkan pengurip bumi dengan perangkat badan pembantunya disebut sebagai Jajar Kemiri. Jajar artinya jaringan Kemiri adalah tingkih (kemiri), jadi Jajar Kemiri adalah jaringan yangmembangun kekuatan kemiri dimaksud ,sehingga kuat dan tidak mudah lapuk. Pura-pura yang merupakan jajar kemiri dariPura Batukaru di sebelah kanan adalah; Pura Muncak Sari dan Pura Tambaa Waras dan di sebelah kirinya yaitu Pura Petalidan Pura Besi Kalung. Dengan demikian Pura Dhang Khayang Jagat Bali dikuatkandengan adanya Pura Jajar Kemiri yang mempunyai fungsi sebagai kekuatan Jagat Bali.
Kami dari rombongan Ashram Gayatri Batubulan, mengadakan acara dharmayatra kesana pada tanggal 11 Agustus 2012, dan kembali pada tanggal 12 Agustus, keesokan harinya.

Perjalanan sempat menjadi ragu, karena sehari menjelang perjalanan, Pinisepuh kami, penglingsir Ashram Gayatri “ Ida Pandita Agni Yoga Sarasvati” , selaku pemimpin dan pengkoordinir acara, menyampaikan bahwa rencana mekemit di puncak kedaton dibatalkan, dan hanya tangkil pada tanggal 12 agustus saja. Hal itu merupakan hasil dari pertimbangan beliau, mengingat banyak peserta adalah ibu-ibu dan anak-anak, yg tidak kuat dengan dinginnya angin pegunungan.
Hal itu sempat membuat down mental kami semua, karena kami telah melakukan persiapan yg matang, dan telah menunggu acara ini dari jauh-jauh hari. Melihat raut wajah kekecewaan dari semua anggota Ashram Gayatri, akhirnya beliau tidak tega, dan memberikan ijin kepada kami, rombongan inti ashram gayatri, intuk mendahului kesana, tanpa didampingi oleh penglingsir kami, yg menyusul di keesokan harinya.
Malam harinya, Ida Nak Lingsir mepuja, mohon petunjuk dan perlindungan bagi kami semua. Tidak lupa, saya dan seorang teman (ketut Suardika) diminta ikut meditasi, dan mohon petunjuk serta perlindungan atas perjalanan kami tersebut. Setelah selesai mepuja, Ida nak lingsir langsung memberikan perintah untuk kami berjalan. Secara fisik, beliau tidak menyertai kami, tetapi do’a dan bhatin beliau telah mengiringi perjalanan kami tersebut.
Akhirnya, hari yg ditunggu tunggu pun tiba. Pada pagi harinya, saya dan beberapa teman, mengikuti acara agnihotra yg dilangsungkan di GriyaGayatri, mohon perlindungan agar kami semua selamat sampai di tempat tujuan. Diawali dengan acara do’a bersama, dan mohon petunjuk Ida Nak Lingsir, kami pun siap berangkat.
Tanpa terasa, kami pun sudah sampai di parkiran terakhir untuk tempat pendakian. Setelah melakukan persembahyangan di dasar, kami pun memulai perjalanan. Ini adalah pengalaman pertama saya untuk naik gunung. Bermodalkan tekad dan semangat, saya berjalan bersama rombongan. Jalanan begitu sulit dan terjal.
Di setiap pelinggih yg kami temui, kami selalu menghaturkan sesajen, dan berdo’a buat keselamatan kami semua. Sekitar 300 meter dari puncak, saya mengalami kram otot kaki, sehingga saya tidak bisa berjalan, dan rombongan harus menunggui agar saya bisa melanjutkan perjalanan. Setelah dipijat oleh seorang teman, akhirnya saya pun berhasil melanjutkan perjalanan. Dengan selalu mengucapkan “ Om Gam Ganapataye Namo Namaha, dan Om Shri Ganesha Ya Namaha”, saya terus memohon kepada Tuhan agar saya bisa sampai di puncak.

Tidak sia sia, akhirnya setelah kurang lebih 5 jam perjalanan, kamipun sampai di puncak. Indahnya pemandangan di kegelapan malam, dengan lampu-lampu jalanan yg terlihat di kejauhan, serta ribuan bintang di langit, membuat suasana malam menjadi begitu indah.
Setelah melakukan berbagai persiapan, kami pun melakukan persembahyangan bersama di areal utama Pura Puncak Kedaton, yg hanya merupakan sebuah batu besar, yg menyerupai sebuah kursi. Dipimpin oleh seorang pemangku, yg walau sejujurnya kami bilang, bahwa sama sekali tidak nyaman dengan kepemimpinan beliau dalam bersembahyang, tetapi kami tetap mengikuti acara persembahyangan tersebut dengan khidmat. Segala do’a yg kami tau, kami panjatkan disana.
Setelah selesai bersembahyang, kami membikin api unggun, dan makan bersama. Sungguh disayangkan, karena salah seorang anggota, tidak dapat mengikuti semua acara disana, karena dia mengalami kram dan kedinginan. Semalaman dia tidak bisa mengikuti acara, dan menikmati keindahan alam diatas gunung Batukaru tersebut.
Tepat jam 12 malam, saya dan beberapa anggota rombongan dari Ashram yg belum tidur, melakukan upacara agnihotra sederhana, sesuai dengan apa yg kami ketahui. Walaupun sederhana sekali, tetapi kami sangat menikmati acara agnihotra tersebut.
Setelah agnihotra, kami melanjutkan dengan bhajan, dan kami puput dengan parama shanti. Setelah itu, acara kami lanjutkan dengan ngobrol hingga pagi. Tidak lupa, suplemen khusus kami, yg selalu menyertai dan melindungi daya tahan kami, yaitu “TUTUH” selalu kami nikmati, dan kami konsumsi untuk menjaga daya tahan tubuh kami atas dinginnya angin malam di puncak.
Tidak terasa, pagi pun datang. Kami mendapatkan suguhan berupa keindahan alam yg bahkan tidak pernah kami mimpikan. Kami serasa berada di sebuah negeri diatas awan, sama seperti cerita dongeng. Hamparan awan putih berada jauh dibawah kami. Keindahan itu ditambah ketika matahari mulai muncuk di ufuk timur. Semua rombongan bersorak kegirangan, dan merasakan kebahagiaan yg tiada tara.
Setelah puas menikmati keindahan alam, kami melanjutkan dengan acara makan bersama, dan selanjutnya kami kembali bermain, layaknya anak kecil yg bertemu teman sebayanya, dan bermain-main bersama.
Sekitar pukul 10 pagi, satu persatu anggota dari rombongan Ida Nak lingsir mulai berdatangan. Kami pun melakukan penyambutan kepada mereka, dan terakhir Ida Pandita Agni Yoga Sarasvati, diiringi Ida Istri, dan Putri Beliau pun datang. Kami semua menyambut kehadiran beliau.
Setelah istirahat sejenak, dan dilanjutkan dengan acara tutuh bersama, acara pun dilanjutkan dengan persembahan upacara Agnihotra di depan baatu besar sebagai pelinggih utama di Pura tersebut.
Semua mengikuti acara dengan khusuk, dibawah teriknya panas sang surya di siang hari. Hanya rombongan pemangku yg ikut mekemit disana saja yg tidak mau mengikuti acara tersebut, entah dengan alasan apa.
Setelah persembahyangan tersebut, kami kembali menikmati acara makan bersama, dan selanjutnya melakukan persiapan untuk kembali pulang.
Saat perjalanan pulang, kami mengiringi langkah ida nak lingsir. Kami pun nunas sebatang kayu kasua, untuk teteken ida nak lingsir, dan bagian atasnya kami manfaatkan untuk tongkat kami.
Sampai di sekitar setengah perjalanan, salah satu peserta, yg umurnya sekitar 70-80 tahunan, sedikit terperosot, sehingga kakinya bengkak. Atas perintah ida nak lingsir, saya, ketut suardika, dan pak nyoman gading, memapah nenek itu secara bergantian, sampai ke parkiran. Kurang lebih sekitar satu setengah jam, kami secara bergantian memapah sang nenek, hingga sampai di parkiran.
Akhirnya, sekitar jam 6 sore, kami sampai di parkiran, dan melanjutkan perjalanan pulang, dengan rasa bahagia, dan juga capek yg luar biasa.
Akhir kata, catatan saya ini saya tutup dengan ucapan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat Beliau lah, kami segenap peserta dharmayatra ini bisa sukses dan selamat sampai di tempat tujuan, dan selamat sampai kembali pulang.
Tidak lupa kami segenap keluarga Ashram Gayatri mengucapkan Terima kasih sebanyak-banyaknya kepada Penglingsir kami “ IDA PANDITA AGNI YOGA SARASVATI” atas segala bimbingan dan tuntunannya, sehingga acara ini bisa berlangsung dengan damai, indah dan selamat.
OM SHANTI SHANTI SHANTI OM……


















Ida Pandita Agni Yoga Sarasvati

Ida Pandita Agni Yoga Sarasvati

Beliau Penglingsir dari Ashram Gayatri yg terletak di Jl. SMKI, Gang Ulunswi, Br. Pegambangan Batubulan - Gianyar, Bali.

Sebagai seorang sulinggih, beliau terkenal sangat low profile, selalu ramah dan murah senyum terhadap semua orang. Beliau tidak pernah membedakan antara tempat si kaya dan si miskin, sehingga siapapun yg tangkil ke Griya Gayatri, akan mendapat tempat yg sama, dan pelayanan yg sama pula.